Pernikahan, bagi
para pejuang da’wah, merupakan bagian utuh yang tidak dapat terpisahkan dengan
masa depan da’wah dan rekayasa besar untuk mencapai kemenangan da’wah. Begitulah
teladan dari Rasulullah saw yang menjadikan pernikahannya merupakan bagian
tidak terpisahkan dari planning global kemenangan da’wah masa depan.
Pernikahan
Rasulullah saw dengan Shafiya Binti Huyay Bin Akhtab, seorang wanita bangsawan
dari kalangan Yahudi, menjadikan kaumnya, yang beragama Yahudi, berbondong-bondong
masuk dalam agama Islam. Shafiya adalah keturunan bangsawan Yahudi dari bani Quraidzah
yang diperangi oleh Rasulullah saw hingga kalah. Kekalahan dalam peperangan
ini, menyebabkan Shafiya harus menjadi budak bagi kaum Muslimin. Tetapi, ketika
Rasulullah saw menikahinya, maka kehormatan Shafiya sebagai bangsawan tetap
terjaga; sekaligus penerimaan kaumnya terhadap agama Islam menjadi terbuka
lebar. Ini adalah pernikahan da’wah Rasulullah saw.
Pernikahan
Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy, menyebabkan tradisi jahiliyyah
tentang anak angkat terhapus. Semula, orang Arab Jahiliyyah menjadikan anak
angkat mereka sebagai anak kandung mereka sendiri, sehingga istri anak angkat
tidak boleh untuk dinikahi. Anak angkat Rasulullah saw, Zaid Bin Haritsah,
menikah dengan Zainab binti Jahsy berakhir dengan perceraian. Kemudian Allah
Swt memerintahkan Rasulullah saw untuk menikahi Zainab dengan firman-Nya: “…
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami nikahkanlah kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang Mu’min untuk (menikahi) isteri anak angkat mereka, apabila anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya” (Al Ahzab: 37).
Ketika Rasulullah saw menikahi Zainab, maka berakhirlah
pandangan masyarakat yang salah tentang anak angkat. “… Dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan
di mulut-mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan (yang benar)” (Al Ahzab: 4). Ini adalah pernikahan da’wah Rasulullah saw.
Pernikahan
Rasulullah saw dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar bin
Khaththab, menjadikan persaudaran antara Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar
tetap terjaga. Demikian pula Rasulullah saw menikahkan puterinya dengan Ali Bin
Abi Thalib dan Utsman Bin Affan, menjadikan ikatan ukhuwwah di antara mereka
semakin kuat.
Pernikahan agung
Rasulullah saw dan para shahabat tidak hanya mempertimbangkan kesenangan
pribadi semata, tetapi juga mempertimbangkan faktor kepentingan Islam dan kaum
Muslimin. Pernikahan seperti ini adalah pernikahan da’wah, yaitu pernikahan
untuk merekayasa kemenangan da’wah di masa depan.
Buah dari
pernikahan tentu saja adalah keturunan, yaitu anak baik laki-laki atau
perempuan. Rekayasa kemenangan da’wah juga melalui keturunan hasil pernikahan,
yaitu generasi baru yang akan meneruskan rantai da’wah dari generasi
sebelumnya. Atau generasi baru yang akan mengganti dan merubah kerusakan dari
generasi sebelumnya.
Dari pernikahan,
diharapkan lahir generasi baru yang lebih kuat untuk mengemban amanah da’wah. Sejak
awal, dalam menentukan pasangan hidup, haruslah diukur kekuatan dan kesehatan pasangannya, sehingga
lahir generasi baru yang kuat dan sehat. Tidak memilih pasangan hidup hanya
alasan semata-mata jatuh cinta.
Dari pernikahan,
diharapkan lahir pula generasi baru yang lebih berilmu dan trampil dalam
memikul amanah da’wah. Pendidikan dan latihan perlu diberikan kepada generasi
baru supaya mereka sanggup menerobos seluruh tantangan dan halangan da’wah.
Pasangan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam hidupnya, yaitu menegakkan
kalimat Allah; akan saling mengisi dan menyempurnakan dalam membekali generasi
baru untuk menjadi bahan bakar dalam perjalanan da’wah. Sedangkan generasi yang
memilki visi dan misi yang berseberangan dalam hidupnya, akan menumbuhkan
generasi baru yang lemah dan pengecut; yang mementingkan kesenangan pribadinya
saja.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka …” (An Nisaa’: 9).
Pernikahan memang
hak asasi yang paling dasar dalam kehidupan seseorang. Tidak boleh ada satu
orang yang memaksa orang lain untuk menikah dengan orang yang tidak
dicintainya. Seseorang yang memuja nafsunya, akan menjadikan pernikahannya
semakian tanpa aturan kecuali hanya menuruti selera nafsunya saja. Sedangkan
seseorang yang senantiasa rindu untuk mendekatkan diri kepada Khaliqnya, akan
menjadikan pernikahannya sebagai persembahan agung untuk menjunjung tinggi
kalimat-Nya. Selamat berjuang saudaraku !
0 komentar:
Posting Komentar