Rabu, 13 Juni 2012



            Pernikahan, bagi para pejuang da’wah, merupakan bagian utuh yang tidak dapat terpisahkan dengan masa depan da’wah dan rekayasa besar untuk mencapai kemenangan da’wah. Begitulah teladan dari Rasulullah saw yang menjadikan pernikahannya merupakan bagian tidak terpisahkan dari planning global kemenangan da’wah masa depan.

            Pernikahan Rasulullah saw dengan Shafiya Binti Huyay Bin Akhtab, seorang wanita bangsawan dari kalangan Yahudi, menjadikan kaumnya, yang beragama Yahudi, berbondong-bondong masuk dalam agama Islam. Shafiya adalah keturunan bangsawan Yahudi dari bani Quraidzah yang diperangi oleh Rasulullah saw hingga kalah. Kekalahan dalam peperangan ini, menyebabkan Shafiya harus menjadi budak bagi kaum Muslimin. Tetapi, ketika Rasulullah saw menikahinya, maka kehormatan Shafiya sebagai bangsawan tetap terjaga; sekaligus penerimaan kaumnya terhadap agama Islam menjadi terbuka lebar. Ini adalah pernikahan da’wah Rasulullah saw.
            Pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy, menyebabkan tradisi jahiliyyah tentang anak angkat terhapus. Semula, orang Arab Jahiliyyah menjadikan anak angkat mereka sebagai anak kandung mereka sendiri, sehingga istri anak angkat tidak boleh untuk dinikahi. Anak angkat Rasulullah saw, Zaid Bin Haritsah, menikah dengan Zainab binti Jahsy berakhir dengan perceraian. Kemudian Allah Swt memerintahkan Rasulullah saw untuk menikahi Zainab dengan firman-Nya: “… Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkanlah kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang Mu’min untuk (menikahi) isteri anak angkat mereka, apabila anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya” (Al Ahzab: 37).
Ketika Rasulullah saw menikahi Zainab, maka berakhirlah pandangan masyarakat yang salah tentang anak angkat. “… Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut-mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (Al Ahzab: 4). Ini adalah pernikahan da’wah Rasulullah saw.
            Pernikahan Rasulullah saw dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar bin Khaththab, menjadikan persaudaran antara Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar tetap terjaga. Demikian pula Rasulullah saw menikahkan puterinya dengan Ali Bin Abi Thalib dan Utsman Bin Affan, menjadikan ikatan ukhuwwah di antara mereka semakin kuat.
            Pernikahan agung Rasulullah saw dan para shahabat tidak hanya mempertimbangkan kesenangan pribadi semata, tetapi juga mempertimbangkan faktor kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Pernikahan seperti ini adalah pernikahan da’wah, yaitu pernikahan untuk merekayasa kemenangan da’wah di masa depan.
            Buah dari pernikahan tentu saja adalah keturunan, yaitu anak baik laki-laki atau perempuan. Rekayasa kemenangan da’wah juga melalui keturunan hasil pernikahan, yaitu generasi baru yang akan meneruskan rantai da’wah dari generasi sebelumnya. Atau generasi baru yang akan mengganti dan merubah kerusakan dari generasi sebelumnya.
            Dari pernikahan, diharapkan lahir generasi baru yang lebih kuat untuk mengemban amanah da’wah. Sejak awal, dalam menentukan pasangan hidup, haruslah diukur  kekuatan dan kesehatan pasangannya, sehingga lahir generasi baru yang kuat dan sehat. Tidak memilih pasangan hidup hanya alasan semata-mata jatuh cinta.
            Dari pernikahan, diharapkan lahir pula generasi baru yang lebih berilmu dan trampil dalam memikul amanah da’wah. Pendidikan dan latihan perlu diberikan kepada generasi baru supaya mereka sanggup menerobos seluruh tantangan dan halangan da’wah. Pasangan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam hidupnya, yaitu menegakkan kalimat Allah; akan saling mengisi dan menyempurnakan dalam membekali generasi baru untuk menjadi bahan bakar dalam perjalanan da’wah. Sedangkan generasi yang memilki visi dan misi yang berseberangan dalam hidupnya, akan menumbuhkan generasi baru yang lemah dan pengecut; yang mementingkan kesenangan pribadinya saja.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka …” (An Nisaa’: 9).
            Pernikahan memang hak asasi yang paling dasar dalam kehidupan seseorang. Tidak boleh ada satu orang yang memaksa orang lain untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Seseorang yang memuja nafsunya, akan menjadikan pernikahannya semakian tanpa aturan kecuali hanya menuruti selera nafsunya saja. Sedangkan seseorang yang senantiasa rindu untuk mendekatkan diri kepada Khaliqnya, akan menjadikan pernikahannya sebagai persembahan agung untuk menjunjung tinggi kalimat-Nya. Selamat berjuang saudaraku !
            

0 komentar:

Posting Komentar